Probolinggo, 30 Mei 2025 – Pasca digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kabupaten Probolinggo, berbagai polemik bermunculan terkait dugaan pembatasan peliputan oleh wartawan. Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, Oka Mahendra Jatikusuma, menjadi sorotan utama setelah sejumlah jurnalis mengeluhkan adanya pembatasan akses peliputan yang dinilai membatasi kebebasan pers.
Kejadian ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat sipil, termasuk LSM Aliansi Masyarakat Peduli Probolinggo (AMPP). Ketua AMPP, Lutfi Hamid, menyampaikan kritik tajam atas dugaan pembatasan tersebut. Ia menilai tindakan yang dilakukan oleh DPRD dan ketuanya menunjukkan sikap antidemokratis dan berpotensi melanggar prinsip kebebasan pers yang dijamin undang-undang.
“Seharusnya DPRD, terutama ketuanya, memberikan ruang seluas-luasnya bagi wartawan dan LSM untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Anggota dewan harus siap menerima kritik dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Jika tidak mau dikritik, sebaiknya mundur dari jabatan,” tegas Lutfi Hamid saat ditemui di kantor AMPP, Kamis (30/5).
Lutfi menegaskan bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi, dan membatasi ruang gerak wartawan sama saja dengan menutup akses publik terhadap informasi yang transparan. “Ini bukan sekadar soal teknis peliputan, tapi arogansi kekuasaan yang bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi. DPRD bukan milik segelintir elite, tapi milik rakyat. Membatasi wartawan berarti membungkam suara rakyat,” ujarnya dengan nada geram.
Lebih jauh, Lutfi mengutip Pasal 28F UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi dan memberikan perlindungan hukum bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. “Ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi pelanggaran konstitusi. Pejabat publik yang menghalangi tugas jurnalistik harus diproses secara hukum. Kami dari AMPP tidak akan tinggal diam,” lanjutnya.
Menurut Lutfi, jika hari ini wartawan dibungkam, maka besok giliran masyarakat sipil yang bisa kehilangan hak untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Hal ini menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi di Probolinggo. Ia juga menyoroti isi video yang sempat beredar, di mana Ketua DPRD disebut-sebut seolah mengatur Aparat Penegak Hukum (APH). Menurut Lutfi, hal tersebut adalah salah besar dan tidak tepat.
Di sisi lain, Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, Oka Mahendra Jatikusuma, membantah keras tudingan adanya pembatasan terhadap kebebasan pers. Dalam pernyataan tertulis yang diterima media, Oka menegaskan bahwa rapat-rapat DPRD bersifat terbuka dan media tetap diperbolehkan melakukan peliputan.
“Kami tidak pernah melarang wartawan. Ruang peliputan sudah kami siapkan. Namun, apabila ada wartawan yang lalu-lalang di sekitar peserta saat diskusi berlangsung, tentu hal ini bisa mengganggu jalannya rapat,” jelas Oka, Kamis (30/5).
Oka menambahkan, arahan agar wartawan tidak mondar-mandir selama rapat bukanlah bentuk pelarangan, melainkan semata-mata upaya menjaga ketertiban dan konsentrasi forum. Mengenai istilah “media resmi DPRD”, Oka menjelaskan bahwa hal tersebut merujuk pada tim humas internal yang bertugas mendokumentasikan kegiatan untuk keperluan arsip, bukan untuk membatasi akses media eksternal.
“Media tetap diperbolehkan meliput. Kami hanya mengharapkan situasi rapat tetap kondusif agar diskusi berjalan lancar. Jika diperlukan, dokumentasi dari Humas DPRD juga bisa diakses oleh media,” tambahnya.
Peristiwa ini menegaskan kembali pentingnya dialog terbuka antara pejabat publik dan insan pers untuk menyamakan persepsi terkait batasan profesional dan teknis dalam forum-forum kebijakan publik. Kebebasan pers yang terjaga menjadi fondasi utama dalam mendukung transparansi dan akuntabilitas pemerintahan di Kabupaten Probolinggo. (Tim/Red/**)