K, seorang debitur Bank BTN Kediri, merasa dirugikan setelah rumahnya yang telah ia tempati sejak 2016 dicoret-coret dengan cat merah oleh pihak bank. Coretan tersebut berisi tulisan “Rumah ini akan diproses lelang/dijual,” yang sebelumnya juga ditempelkan dalam bentuk stiker tanpa izin.
Peristiwa terbaru terjadi pada Kamis, 26 September 2024, sekitar pukul 14.00, saat K pulang dan mendapati rumahnya dalam kondisi yang telah dirusak oleh coretan. Tak lama setelahnya, ia menerima pesan WhatsApp dari Danys Fredy, seorang penagih dari Bank BTN, yang menanyakan mengenai keterlambatan pembayaran angsuran.
K segera menghubungi Danys untuk mengonfirmasi kejadian tersebut, merasa dipermalukan di depan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Namun, Danys menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan prosedur standar dari pihak bank.
K menyatakan dirinya sangat dirugikan, baik secara moral maupun material. Meski ia mengakui ada keterlambatan pembayaran angsuran, tindakan mencorat-coret rumahnya dinilai sebagai pelanggaran hukum. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 3192 K/Pdt/2012, masalah ini seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum perdata, bukan dengan tindakan intimidasi.
Mencorat-coret rumah debitur tanpa izin dapat dikategorikan sebagai perusakan sesuai Pasal 406 ayat (1) dan Pasal 170 ayat (1) KUHP, yang dapat berujung pada hukuman pidana hingga dua tahun delapan bulan penjara. Selain itu, debitur berhak mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap pihak yang bertanggung jawab.
K juga menyoroti dampak psikologis pada keluarganya, terutama anak-anak yang terancam menjadi korban perundungan akibat tindakan tersebut. Ia menuntut agar pihak Bank BTN menghormati privasi debitur dan menyelesaikan masalah ini sesuai ketentuan hukum, bukan melalui tindakan yang mempermalukan atau merugikan.