Tuban – Proses pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas) Polres Tuban tengah menjadi sorotan. Sejumlah informasi dari masyarakat mengindikasikan adanya praktik pungutan liar (pungli) serta pelanggaran prosedur dalam penerbitan SIM, di mana seseorang bisa mendapatkan SIM hanya dengan membayar sejumlah uang tanpa mengikuti tes yang semestinya.
Seorang warga berinisial ED (40), yang mengurus SIM C untuk keperluan bekerja sebagai kurir online, mengaku memperoleh SIM tanpa melalui tahapan ujian teori maupun praktik. Ia hanya membayar Rp950.000 kepada seorang calo berinisial A.
“Melalui A, saya ditawari urus SIM C. Intinya duduk, diam, dengar musik, SIM jadi. Tidak ribet. Saya bayar sesuai permintaan, Rp950 ribu,” kata ED. Ia juga menyebut bahwa surat kesehatan dan tes psikologi sudah “dikondisikan” oleh pihak calo.
Proses yang dialaminya sangat singkat. “Saya langsung diajak antre foto di dalam Satpas, tanpa ujian teori atau praktik. Kalau disuruh ujian, jelas saya tidak lulus, karena saya belum bisa mengendarai motor,” ungkapnya.
Pengakuan serupa juga datang dari pemohon SIM C lainnya, berinisial K (50), yang menyebut telah berkali-kali gagal ujian teori dan praktik. Namun, setelah menggunakan jasa calo, ia berhasil mendapatkan SIM hanya dengan membayar Rp950.000.
Selain dugaan pelanggaran prosedur dalam penerbitan SIM, indikasi penyimpangan juga terlihat dalam proses pemeriksaan kesehatan. Ditemukan bahwa surat kesehatan yang dibutuhkan dapat dibeli dengan harga Rp30.000, dengan stempel dokter atas nama dr. Hartono, namun pemeriksa di lokasi bukanlah dokter yang bersangkutan.
“Ketika pemohon membawa surat kesehatan dari luar, tetap diminta cap dari dr. Hartono. Ini menjadi tanda tanya besar,” kata sumber.
Berdasarkan pengamatan awak media selama dua hari di Satpas Tuban, tercatat ratusan pemohon SIM baru dan perpanjangan per hari. Sebagian besar diduga mengurus melalui biro jasa atau oknum petugas di lapangan. Hal ini mengindikasikan praktik yang sudah berlangsung secara sistematis.
Mengacu pada PP No. 76 Tahun 2020, biaya resmi pembuatan SIM A adalah Rp120.000. Namun, seorang pemohon mengaku mendapatkan SIM A dengan membayar Rp1.250.000 tanpa menjalani ujian. Hal ini menimbulkan pertanyaan: ke mana larinya selisih uang tersebut?
Informasi yang dihimpun menyebut calo atau biro jasa hanya mendapatkan imbal jasa sekitar Rp100.000, sementara sisanya diserahkan kepada oknum-oknum di lingkungan Satpas.
Menanggapi hal ini, Ketua DPW LSM Gerakan Nasional Nusantara (GNN) Tuban, Suwandi, S.H., M.M., angkat bicara.
“Jika benar ada pemohon SIM A yang tidak bisa mengemudi tetapi tetap mendapat SIM, berarti ada SOP yang dilanggar. Ini harus ditindaklanjuti dengan evaluasi menyeluruh, bukan hanya lips service,” tegasnya, Rabu (4/6/2025).
Ia juga meminta agar pihak internal Polri seperti Paminal dan Propam Polda Jawa Timur turun tangan dan melakukan penyelidikan secara transparan.
“Pungli ini ibarat angin—ada tapi tak tampak. Seperti gunung es, yang terlihat kecil tapi besar dan mengakar di bawahnya. Bisa jadi praktik ini tersistematis, terstruktur, dan masif,” ujarnya.
Suwandi mendesak agar penerbitan SIM harus mengacu pada prosedur dan standar operasional yang berlaku. Jika ditemukan pelanggaran, oknum yang terlibat harus ditindak tegas, bahkan dijerat dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
“Tidak sulit mengungkap ini. Cukup periksa pemilik SIM, tanya proses dan jumlah bayar, telusuri aliran dananya, siapa yang menerima dan menikmatinya. Itu sangat mudah jika ada kemauan,” pungkasnya.
Suwandi menekankan bahwa Polri, sebagai institusi yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002, adalah lembaga sipil bersenjata yang tidak boleh menerima gratifikasi atau pungutan dalam bentuk apa pun.