Probolinggo – Drama tambang ilegal di wilayah perbatasan Desa Patalan dan Desa Boto, Kabupaten Probolinggo, memasuki babak baru yang penuh tanda tanya. Setelah sempat berhenti pasca-inspeksi mendadak Penegakan Hukum (Gakkum), aktivitas tambang tersebut kembali bergeliat pada Jumat, 8 Agustus 2025.
Yang mengejutkan, papan larangan resmi yang sebelumnya dipasang oleh pihak Perhutani mendadak raib. Menurut warga, papan itu hanya bertahan hitungan hari sebelum dicopot paksa oleh pihak penambang yang diduga berasal dari komunitas warga Tionghoa setempat.
Awalnya, pemasangan papan pengumuman ini dianggap langkah tegas Kelompok Tani Hutan (KTH) Bumi Asri untuk membendung laju kendaraan berat yang hilir-mudik membawa hasil galian. Aktivitas ini sudah lama dicurigai sebagai bagian dari jaringan tambang ilegal yang merusak ekosistem hutan sosial dan mengabaikan keselamatan warga.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain. KTH Bumi Asri tiba-tiba menghentikan larangan dan membiarkan tambang kembali beroperasi, hanya beberapa hari setelah sidak Gakkum. Fakta lain yang tak kalah mencengangkan, titik lokasi tambang ternyata berada di luar koordinat yang diizinkan.
Langkah “mundur” KTH ini memicu spekulasi liar. Apakah ada tekanan dari pihak berpengaruh? Atau justru ada kesepakatan diam-diam yang membuat larangan dicabut? Warga mulai mencurigai keberadaan “beking” kuat yang membuat tambang ini kebal dari aturan hukum.
“Kalau tambang ini ilegal, kenapa bisa buka lagi secepat itu? Apa aparat tidak lihat? Kami yang di sini setiap hari merasakan debu, jalan rusak, dan suara bising. Sementara yang punya tambang seperti raja,” ujar salah satu warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Program Perhutanan Sosial yang mestinya menjadi motor kesejahteraan warga kini tercoreng oleh praktik tambang liar yang justru memperkaya segelintir pihak. Alih-alih memberdayakan masyarakat, hutan sosial dijadikan tameng untuk aktivitas ilegal.
Desakan publik kini mengarah pada pemerintah daerah, aparat kepolisian, Gakkum, dan Perhutani untuk membuka “tirai” yang menutupi siapa saja yang bermain di balik tambang ini. Masyarakat menuntut penyelidikan tuntas, mulai dari pemodal, pengelola, hingga oknum yang diduga melindungi.
Kasus ini menjadi ujian nyata bagi komitmen penegakan hukum di Probolinggo. Jika dibiarkan, bukan hanya hutan yang hilang, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan program pemerintah.
(Tim/Red/**)